Pages

Rabu, 27 April 2011

Sejarah Crooz

Sejarah Crooz Cloth



was established in 2003 and becoming one of the most leading and well known independent brand in Indonesia clothing line industry. Crooz have successfully managed to set up trends and influenced both lifestyle and fashion for teenagers and young adult not only in Indonesia, but also reaches the neighboring countries such as Malaysia, Singapore and Philippines. Having music as the company's main concept, by supporting and becoming official merchandiser for so many great local and international bands are the evidence of the company's contribution for the music scene. Just like how music evolved, there are good and bad result of it. But people say a good music is an endless substance. Same goes with Crooz's products, because a fine clothes is better than any drugs.

didirikan pada tahun 2003 dan menjadi salah satu merek independen yang palingterkemuka dan terkenal di industri garis pakaian Indonesia. Crooz telah berhasilberhasil mendirikan tren dan mempengaruhi baik gaya hidup dan fashion untuk remajadan dewasa muda tidak hanya di Indonesia, tetapi juga mencapai negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Filipina. Setelah musik sebagai konseputama perusahaan, dengan mendukung dan menjadi merchandiser resmi untuk begitu banyak band-band lokal dan internasional yang besar adalah bukti kontribusi perusahaan untuk adegan musik. Sama seperti bagaimana musik berevolusi, ada hasil yang baik dan buruk dari itu. Tetapi orang-orang mengatakan musik yang bagus adalahsubstansi tak terbatas. Sama halnya dengan produk Crooz's, karena pakaian bagusadalah lebih baik daripada obat-obatan.
READ MORE - Sejarah Crooz

Minggu, 24 April 2011

Sejarah Quicksilver dan Ripcurl

Pada suatu hari diakhir 1960-an, empat orang penggila selancar tengah menikmati hidup didekat salah satu pantai selancar terbaik dunia. Diantara sesi selancar, bir, kaleng-kaleng kacang panggang, dua pasangan dynamic duo itu mendirikan dari tiga besar bisnis dalam apa yang kelak menjadi industri pakaian selancar bernilai miliaran dollar.

Pendiri RipCurl, Doug Wabrick dan Brian Singer, mulai membuat papan selancar mereka digarasi rumah mereka torquay, sebuah kota pantai yang kecil dekat dengan tempat ziarah para peselancar di Bell’s Beach, Victoria. Seperti kebanyakan orang mereka memutuskan untuk merubah garasi halaman belakang untuk dijadikan sebuah pabrik kecil yang membuat papan selancar. Jadi merkea mulai membersihkan barang-barang tidak berguna dari garasi rumah mereka dan memulai bisnis mereka disana. Kini perusahaan Rip Curl diperkirakan mencapai $700.000.000




Spoiler for doug and brian sekarang:






Alan Green dan John Law
pendiri Quiksilver memulai imperium mereka di Torquay bersama sepasang celana pendek lebar yang mereka rancang agar mereka terbebas dari ketidaknyamanan dan ketidakpraktisan celana selancar pada waktu itu. Ayah Green meminjamkan uang sebesar $1.900 atau dollar Australia kepada mereka. Saat ini QuikSilver merupakan merek pakaian selancar terbesar didunia yang menguasai 38% pangsa pasar. Perrusahaan ini memiliki toko utama di Times Square, New York dan perusahaan ini bernilai $1,7 miliar dollar AS.
Spoiler for foto alan Green dan john law:



Spoiler for foto Quiksilver store di Times Square New York:



Foto dari depan



foto dari samping



RipCurl dan QuikSilver lahir dimasa yang tepat, tiba dipasar saat budaya berselancar tengah menjadi perhatian mainstream yang meluas. program televisi kala itu banyak mempromosi gaya hidup matahari, pasir, selancar dan sexs, dan semakin bayak orang yang ingin menjadi bagian dari Klub eksklusif ini, terlepas mereka benar-benar berselancar atau tidak. peralatan dan mode untuk pasar ini saat itu sangatlah primitif, sehinggga banyak ruang untuk produk-produk baru. RipCurl dan Quiksilver memiliki ide yang tepat tentang apa ang diinginkan konsumen karena mereka juga menginginkannya. pakaian renang yang lebih baik, papan selancar yang lebih baik, celana pendek lebar yang memberi keleluasaan gerak dan baju hangat yang keren dipakai setelah berselancar.


kunci besar kesuksesan mereka adalah kedalaman akar mereka dalam budaya selancar. kedua perusahaan ini telah lama mensponsori para peselancar top. pada awalnya mereka hanya menjual produk-produk mereka secara lokal ke toko-toko selancar dinegara-negara bagian lainnya. sejalan dengan berkembangnya perusahaan, RipCurl dan Quiksilver menjual lisensi mereka ke negara-negara lain.

Sekarang mereka masih berselancar.
Singer, Warbrick, Law dan Green masih tinggal di Torquay kini usia mereka 60-an dan mereka masih sering terlihat di Torquay hotel untuk meminum bir, " gairah pertama saya adalah tidak bekerja" tutur Green. "anda akan mati suatu saat dan saya tidak mau membuang waktu menunggu saat itu tiba"
READ MORE - Sejarah Quicksilver dan Ripcurl

Semarang Metal Sakmodare

READ MORE - Semarang Metal Sakmodare

Selasa, 12 April 2011

READ MORE -

sejarah t-shirt

Sejarah T-Shirt
Dulu benda ini yang tidak jelas siapa penemunya ini hanya dipakai sebagai pakaian dalam oleh kaum pria. Ketika itu warna dan bentuknya (model) itu-itu melulu. Maksudnya, benda itu berwarna putih, dan belum ada variasi ukuran, kerah dan lingkar lengan.
T-shirt alias kaos oblong ini mulai dipopulerkan sewaktu dipakai oleh Marlon Brando pada tahun 1947, yaitu ketika ia memerankan tokoh Stanley Kowalsky dalam pentas teater dengan lakon “A Street Named Desire” karya Tenesse William di Broadway, AS. T-shirt berwarna abu-abu yang dikenakannya begitu pas dan lekat di tubuh Brando, serta sesuai dengan karakter tokoh yang diperankannya. Pada waktu itu penontong langsung berdecak kagum dan terpaku. Meski demikian, ada juga penonton yang protes, yang beranggapan bahwa pemakaian kaos oblong tersebut termasuk kurang ajar dan pemberontakan. Tak pelak, muncullah polemik seputar kaos oblong.
Polemik yang terjadi yakni, sebagian kalangan menilai pemakaian kaos oblong – undershirt – sebagai busana luar adalah tidak sopan dan tidak beretika. Namun di kalangan lainnya, terutama anak muda pasca pentas teater tahun 1947 itu, justru dilanda demam kaos oblong, bahkan menganggap benda ini sebagai lambang kebebasan anak muda. Dan, bagi anak muda itu, kaos oblong bukan semata-mada suatu mode atau tren, melainkan merupakan bagian dari keseharian mereka.
Polemik tersebut selanjutnya justru menaikkan publisitas dan popularitas kaos oblong dalam percaturan mode. Akibatnya pula, beberapa perusahaan konveksi mulai bersemangat memproduksi benda itu, walaupun semula mereka meragukan prospek bisnis kaos oblong. Mereka mengembangkan kaos oblong dengan pelbagai bentuk dan warna serta memproduksinya secara besar-besaran. Citra kaos oblong semakin menanjak lagi manakala Marlon Brando sendiri – dengan berkaos oblong yang dipadu dengan celana jins dan jaket kulit – menjadi bintang iklan produk tersebut.
Mungkin, dikarenakan oleh maraknya polemik dan mewabahnya demam kaos oblong di kalangan masyarakat, pada tahun 1961 sebuah organisasi yang menamakan dirinya “Underwear Institute” (Lembaga Baju Dalam) menuntut agar kaos oblong diakui sebagai baju sopan seperti halnya baju-baju lainnya. Mereka mengatakan, kaos oblong juga merupakan karya busana yang telah menjadi bagian budaya mode.
Demam kaos oblong yang melumat seluruh benua Amerika dan Eropa pun terjadi sekita tahun 1961 itu. Apalagi ketika aktor James Dean mengenakan kaos oblong dalam film “Rebel Without A Cause”, sehingga eksistensi kaos oblong semakin kukuh dalam kehidupan di sana.
Di Indonesia, konon, masuknya benda ini karena dibawa oleh orang-orang Belnda. Namun ketika itu perkembangannya tidak pesat, sebab benda ini mempunyai nilai gengsi tingkat tinggi, dan di Indonesia teknologi pemintalannya belum maju. Akibatnya benda ini termasuk barang mahal.
Namun demikian, kaos oblong baru menampakkan perkembangan yang signifikan hingga merambah ke segenap pelosok pedesaan sekitar awal tahun 1970. Ketika itu wujudnya masih konvensional. Berwana putih, bahan katun-halus-tipis, melekat ketat di badan dan hanya untuk kaum pria. Beberapa merek yang terkenal waktu itu adalah Swan dan 77. Ada juga merek Cabe Rawit, Kembang Manggis, dan lain-lain.
Selanjutnya, tidak hanya di Amerika dan Eropa, di Indonesia pun kaos oblong sudah menjadi media berekspresi. Kaos oblong yang berwarna putih itu diberi gambar vinyet, dan waktu itu sempat menjadi tren/mode di kalangan anak muda Indonesia. Tapi tidak lama. Berikutnya vinyet digeser oleh tulisan-tulisan yang berwarna-warni. Tekniknya sepeprti sablon. Selain itu, ada juga gambar-gambar koboi, orang-orang berambut gondrong, dan lain-lain. Warna bahan kaos oblong pun sudah semarak, yaitu merah, hitam, biru kuning. Dan, tren kaos oblong rupa-rupanya direkam pula oleh Kartunis GM Sudarta melalui tokoh Om Pasikom dan kemenakannya dengan tajuk “Generasi Kaos Oblong” (Harian Kompas, 14 Januari 1978).

Dalam sejarahnya, T-shirt bukan bagian dari dunia fashion (atau mari katakanlah, dunia berpakaian secara baik). Pada awalnya, T-shirt hadir sebagai baju “daleman” para anggota U.S. Navy untuk melindungi bulu dada mereka (hahaha). Ada beberapa pabrikan yang kemudian mulai membuatnya sebagai produk yang lebih massal, tapi itu pun belum menjadi sebuah pakaian pantas pakai sehari-hari (Scott Fresner, 1995).
Adalah seorang Clark Gable yang kemudian dianggap sebagai penyebar virus T-shirt ini. Juga ada nama-nama seperti Marlon Brando, James Dean, dan sang “Raja” Elvis Presley diawal-awal karirnya.
Perlahan namun pasti, T-shirt mulai menjadi bagian dari busana keseharian yang tidak hanya dipakai untuk daleman, tetapi juga menjadi pakaian luaran. Pada pertengahan tahun 50an, T-shirt sudah mulai menjadi bagian bagian dari dunia fashion. Namun baru pada tahun 60an ketika kaum hippies mulai merajai dunia, T-shirt benar-benar menjadi state of fashion itu sendiri. Sebagai sebuah simbol (lagi-lagi) anti kemapanan, para hippies ini menggunakan T-shirt sebagai salahsatu simbolnya.
Semenjak saat itulah revolusi T-shirt terjadi secara total. Para penggiat bisnis menyadari bahwa T-shirt dapat menjadi medium promosi yang amat efektif serta efesien. Segala persyaratan sebagai medium promosi yang baik ada di T-shirt. Murah, mobile, fungsional, dapat dijadikan suvenir, dan seterusnya.
Disaat yang bersamaan, kelompok-kelompok tertentu macam hippies, komunitas punk, atau organisasi politik, juga menyadari bahwa T-shirt dapat menjadi medium propaganda yang sempurna selain medium yang telah ada. Statement apapun dapat tercetak diatasnya, tahan lama, dan penyebarannya mampu melewati batas-batas yang tidak dapat dicapai oleh medium lain, seperti poster misalnya.
Dengan segala kesempurnaannya, T-shirt tidak lagi menjadi sederhana. Jelas, secara fungsional benda tersebut masih berlaku sebagai sebuah sandang. Namun dibalik itu semua, T-shirt memiliki value yang melebihi dari fungsi dasarnya.
Sebagai media promosi, medium ini benar-benar dimanfaatkan secara maksimal hingga pada titik yang tak terbayangkan sebelumnya. Kini, konsumen dapat dengan bangga membeli T-shirt dengan logo sebuah produk tertera diatasnya kemudian dipakainya. Artinya, dia secara langsung membeli untuk mempromosikan produk yang bersangkutan secara sukarela (tentu saja orang tersebut tidak akan mendapatkan bayaran sepeser pun untuk itu).
Selain menjadi sebuah citraan, T-shirt jelas menjadi pengantar dari citra / image yang ampuh. Ketika diproduksi secara massal, T-shirt mampu melakukan konstruksi atas citra tertentu.
Siapa yang tidak mengenal Che Guevara? Generasi muda sekarang pun banyak yang mengenalnya, bahkan para Slemania alias fans club dari klub sepakbola kota Sleman menggunakan ikon Che sebagai ikon mereka. Terpampang jelas di T-shirt fans club wajah gagah Che Guevara.
Bisa jadi, bagi generasi muda sekarang lebih mengenal Che Guevara yang ada di T-shirt daripada dari sumber lain seperti film atau buku. Atau setidaknya mereka mengenal sekilas sebagai sebab akibat mereka memiliki atau tertarik untuk memiliki T-shirt Che.
Perang visual melalui medium T-shirt ini menjadi sesuatu yang menarik. Saat ini mungkin kita sudah tak lagi heran ketika menemukan logo MTV tertera pada sebuah T-shirt yang diletakkan diemperan bersama T-shirt berlogo semacam Levis, Coca cola, Slank, atau bahkan “Si Wajah Pribumi” Iwan Fals. Siapa sangka, si Benyamin pun sekarang ikut serta dalam perang ikon T-shirt dikalangan muda saat ini.
Kekuatan T-shirt sebagai medium pengantar pesan visual hampir setara dengan kekuatan televisi. Kemudian, yang menjadikannya menarik untuk terus ditilik adalah; “siapa menguasai siapa”. Ketika T-shirt bisa menjadi sebuah ikon identitas atau bahkan identitas itu sendiri, maka bisa jadi si pemakai sesungguhnya telah terjajah oleh apa yang ia pakai. Layaknya ketika realitas Tv telah merangsek kedalam realitas keseharian.

READ MORE - sejarah t-shirt

Sejarah Skate Masuk di indonesia

Semenjak boomingnya Skateboard di Indonesia di awal tahun 2000an perkembangan skateboard di Indonesia semakin berkembang, di dominasi oleh skater- skater Jakarta dan Bandung sekarang sudah ada diberbagai kota di Indonesia seperti di Sumatra ,Medan,Padang, Palembang, Lampung.
Selain itu di di Jawa sendiri ada Jogyakarta, Semarang, Malang, Surabaya, Solo , ada juga dari Balik papan ,Samarinda,Sulawesi, dan Bali, diperkirakan komunitas Skateboard lebih dari ribuan orang di Indonesia

Olah raga Skateboard yang di sukai oleh orang yang berjiwa muda ini memang berbeda dengan olah raga yang lain, perlu ketekunan,kesabaran dan tekat yang kuat untuk mahir bermain Skateboard, semakin dalam kita mempelajari semakin tinggi level kita untuk dicoba, tantangan mulai berkembang dari hanya bermain di jalan mulai beralih di tangga tangga, Handrail, dan Gap.

Dahulu bila ada Event Nasional paling banyak peserta dari Jakarta dan Bandung sedangkan sekarang untuk pesertanya sudah mulai dari berbagai daerah di Indonesia dan tidak sedikit dari skater-skater daerah yang berprestasi di Event-event nasional.

Semenjak adanya asosiasi dari para oldschool/senior biasa di sebut ISA membuat event event di Indonesia mulai terorganisir dengan baik sponsor brand pun mulai masuk untuk Event event bertaraf Nasional maupun International didukung mulai menjamurnya skateshop atau toko toko olah raga extreme dan sekelas distro yang menjual produk skate di Indonesia membuat Skateboard mulai berkembang pesat.

Sarana skatepark pun juga berubah dahulu cuma standart besi, box dan rail , sekarang alat yang dipertandingkan sudah setaraf internasional, arah fashionpun berubah dari hiphop ke punk and natural. Style yang casual ,bebas dengan memakai pakaian bermerek skateboard dan sepatu skate adalah ciri - ciri anak skate. Bisa dibilang komunitas anak skate selalu meng up date perkembangan skateboard karena didasarkan dari oleh raga ini olah raga lifestyle olah raga yang berkembang dari lingkungannya sendiri ,seperti film skate yang terkenal Dog Town tentang asal mulanya skate di Negara asalnya.

Komunitas mulai bekembang, pergaulan mereka pun tidak hanya sekitar daerahnya saja ,seiring banyaknya Event-event skate di luar Jawa membawa akraban antara sesama skater mulai terjalin,dengan satu visi dan misi mengembangkan olah raga skateboard membuat persaudaraan lebih terasa erat.

Prestasi para skater skate Indonesia boleh juga di banggakan karena mereka juga sering memenangkan pertanding mancanegara seperti baru baru ini Putu yogi mendapat emas satu satunya di Olympiade Indoor di Macau tahun lalu.

Dukungan pemerintah pusat pun mulai mengalir di buatnya pertandingan skate terbesar di Bali dengan pesertanya dari berbagai Negara di hadiri oleh Mentri Olah raga dengan Event ini membuktikan bahwa komunitas anak skate sudah bisa diterima dan di kenal oleh masyarakat maupun pemerintah setempat.
Tinggal kita membenahi lagi kekurangan kekurangan kita seperti membangun skatepark yang memadai, kerjasama berbagai pihak pasti Industri skate bisa lebih maju, tidak hanya dari segi bisnis tetapi skaternyapun turut berprestasi.
READ MORE - Sejarah Skate Masuk di indonesia

Sejarah Macbeth


Founder dari Macbeth Clothing Company adalah Tom dan Mark, dan salah satunya dari band-band seperti Taking Back Sunday dan Alkaline Trio. Kalau Atticus lebih mengkhususkan pada produk pakaian sedangkan Macbeth lebih mengkhususkan pada produk sepatu. Inspirasinya bermula ketika Tom tidak puas dengan sepatu-sepatu pada masa itu karena kurang enak dipakai buat musisi karena mungkin pada masanya banyak sepatu yang lebih konsen ke olahraga/ atlit daripada musisi. Dengan ide awal menggabungkan konsep sepatu dan musik, Tom dibantu oloh Jon Humphrey, suatu penyelenggara konser dan dan wakil presiden produk sepatu Adio mengembangkan Macbeth ini.

Pada awalnya Macbeth hanya memperkerjakan 30 orang dan kebanyakan adalah sanak famili atau teman dekat. Dan kebanyakan adalah orang yang berkecimpung dan through di bidang musik.Atticus dan Macbeth dikembangkan secara independen. Nampaknya nggak beda jauh dengan cara yang dikembangkan oleh beberapa clothing lokal kita. Independensinya adalah mereka memproduk dan memasarkan sendiri produk buatan mereka. Pada awalnya pun produk mereka ini hanya disebarkan di seputar pantai di San Diego, California.
Sepatu design pertama macbeth yg melambungkan nama macbeth di dunia yaitu the eliot. Macbeth meraih pasar anak muda salah satunya dengan mengendorse band-band rock kekinian dengan genre punk/ pop punk/ emo/ hardcore/ post-hardcore seperti Alkaline Trio, Angels and Airwaves, Alexis On Fire, Mae, Bane dll. Selain mengendorse band, Atticus juga tampaknya tertarik dengan segala hal kultur anak muda. Brian Ewing yang merupakan seorang designer dan illustrator pun diendorse oleh Atticus.

Salah satu contoh sinergi dengan musik, kalau Kamu membeli sepatu Macbeth maka di dalam lapisan solnya terdapat salah satu lirik yang diambil dari band-band yang diendorse Macbeth. Selain musik, ada juga misi sosial dalam karakter design sepatunya. Ingat sepatu Macbeth Vegan yang terbuat dari bahan-bahan 100% non hewani/ animal products. Di mana Macbeth memiliki misi untuk menghapuskan kekerasan pada binatang. Dan bahan-bahanya adalah hasil impor dari PETA (PeopleFor The Ethical Treatment Of Animals), sebuah organisasi anti kekerasan pada binatang.

Macbeth berawal memasarkan produk lewat internet saja. Mereka tak memiliki tempat untuk mengedarkan produknya dengan hanya diawali beredar di seputaran pantai di San Diego, California. Namun kini Macbeth telah meraih pangsa pasar anak muda yang sebegitu besarnya dan sampai saat ini udah nyampe di tangan kamukan.
udah jelas kan asal usul macbeth..Nah sekarang saatnya kamu beli sepatunya, yang Ori jangan bajakan ya...



Tambahan info, gratis kok
Trend Macbeth Shoes dimulai ketika pada 2000 lampau, pertumbuhan penjualan musik dan artibutnya merambah menjadi gaya hidup di California, AS. Band punk rock yang populer segera menjadi trend-setter, dan tak hanya ditiru atau menginspirasi dalam permainan musiknya saja, melainkan sampai ke persoalan fashion. Meski sebenarnya para artis baru ini mengenakan pakaian dan sepatu ‘alakadarnya’, tetapi melejitnya nama mereka saling-menguatkan dengan industri fashion yang mengekor.

Saat penjualan CD Blink-182 pada 2002 meraih platinum, berbagai perusahaan yang mendistribusikan topi, t-shirt, sepatu, sampai gitar, meraih keuntungan luar biasa dari penggemar Blink di seluruh dunia. Namun, penyebaran yang demikian pesat ini tak sebanding dengan pemahaman industri tentang musik dan karakter yang Blink-182 miliki. Kecewa karena hal ini, Tom DeLonge berkolaborasi dengan Atticus Clothing membuat brand bernama MacBeth. Atticus Clothing sendiri merupakan hasil kolaborasi Tom DeLonge dan Mark Hoppus. Keduanya personel Blink 182.

Dalam perkembangannya kemudian, trend Macbeth Shoes meninggi setelah para personil band rock kesulitan mencari produk yang sesuai dengan keinginan mereka. Wajar memang, manakala setiap waktu musisi ini diisi dengan tour antar kota, mengunjungi negara lain, dan menciptakan musik. Mereka memerlukan pakaian dan sepatu yang cocok untuk penampilan, sekaligus kuat dan nyaman digunakan saat beraktivitas.

Vegan Story
Di kalangan para musisi California, paham vegan cukup punya andil dalam akulturasi budaya. Hal ini karena adanya pemahaman bahwa para vegetarian memiliki hubungan dekat dengan penganut sub-kultur hardcore rock – atau yang biasa disebut “Straight Edge”. Permintaan kemudian meninggi terhadap sneaker modern yang tidak mengandung segala jenis produk hewan, dan hadirlah Macbeth The Elliot yang kemudian dikenal sebagai desain vegan. Macbeth bahkan meraih “Best Vegan Skate Shoe” pada 2007 yang diberikan Peta (People for the Ethical Treatment of Animals)
READ MORE - Sejarah Macbeth