Pages

Selasa, 12 April 2011

sejarah t-shirt

Sejarah T-Shirt
Dulu benda ini yang tidak jelas siapa penemunya ini hanya dipakai sebagai pakaian dalam oleh kaum pria. Ketika itu warna dan bentuknya (model) itu-itu melulu. Maksudnya, benda itu berwarna putih, dan belum ada variasi ukuran, kerah dan lingkar lengan.
T-shirt alias kaos oblong ini mulai dipopulerkan sewaktu dipakai oleh Marlon Brando pada tahun 1947, yaitu ketika ia memerankan tokoh Stanley Kowalsky dalam pentas teater dengan lakon “A Street Named Desire” karya Tenesse William di Broadway, AS. T-shirt berwarna abu-abu yang dikenakannya begitu pas dan lekat di tubuh Brando, serta sesuai dengan karakter tokoh yang diperankannya. Pada waktu itu penontong langsung berdecak kagum dan terpaku. Meski demikian, ada juga penonton yang protes, yang beranggapan bahwa pemakaian kaos oblong tersebut termasuk kurang ajar dan pemberontakan. Tak pelak, muncullah polemik seputar kaos oblong.
Polemik yang terjadi yakni, sebagian kalangan menilai pemakaian kaos oblong – undershirt – sebagai busana luar adalah tidak sopan dan tidak beretika. Namun di kalangan lainnya, terutama anak muda pasca pentas teater tahun 1947 itu, justru dilanda demam kaos oblong, bahkan menganggap benda ini sebagai lambang kebebasan anak muda. Dan, bagi anak muda itu, kaos oblong bukan semata-mada suatu mode atau tren, melainkan merupakan bagian dari keseharian mereka.
Polemik tersebut selanjutnya justru menaikkan publisitas dan popularitas kaos oblong dalam percaturan mode. Akibatnya pula, beberapa perusahaan konveksi mulai bersemangat memproduksi benda itu, walaupun semula mereka meragukan prospek bisnis kaos oblong. Mereka mengembangkan kaos oblong dengan pelbagai bentuk dan warna serta memproduksinya secara besar-besaran. Citra kaos oblong semakin menanjak lagi manakala Marlon Brando sendiri – dengan berkaos oblong yang dipadu dengan celana jins dan jaket kulit – menjadi bintang iklan produk tersebut.
Mungkin, dikarenakan oleh maraknya polemik dan mewabahnya demam kaos oblong di kalangan masyarakat, pada tahun 1961 sebuah organisasi yang menamakan dirinya “Underwear Institute” (Lembaga Baju Dalam) menuntut agar kaos oblong diakui sebagai baju sopan seperti halnya baju-baju lainnya. Mereka mengatakan, kaos oblong juga merupakan karya busana yang telah menjadi bagian budaya mode.
Demam kaos oblong yang melumat seluruh benua Amerika dan Eropa pun terjadi sekita tahun 1961 itu. Apalagi ketika aktor James Dean mengenakan kaos oblong dalam film “Rebel Without A Cause”, sehingga eksistensi kaos oblong semakin kukuh dalam kehidupan di sana.
Di Indonesia, konon, masuknya benda ini karena dibawa oleh orang-orang Belnda. Namun ketika itu perkembangannya tidak pesat, sebab benda ini mempunyai nilai gengsi tingkat tinggi, dan di Indonesia teknologi pemintalannya belum maju. Akibatnya benda ini termasuk barang mahal.
Namun demikian, kaos oblong baru menampakkan perkembangan yang signifikan hingga merambah ke segenap pelosok pedesaan sekitar awal tahun 1970. Ketika itu wujudnya masih konvensional. Berwana putih, bahan katun-halus-tipis, melekat ketat di badan dan hanya untuk kaum pria. Beberapa merek yang terkenal waktu itu adalah Swan dan 77. Ada juga merek Cabe Rawit, Kembang Manggis, dan lain-lain.
Selanjutnya, tidak hanya di Amerika dan Eropa, di Indonesia pun kaos oblong sudah menjadi media berekspresi. Kaos oblong yang berwarna putih itu diberi gambar vinyet, dan waktu itu sempat menjadi tren/mode di kalangan anak muda Indonesia. Tapi tidak lama. Berikutnya vinyet digeser oleh tulisan-tulisan yang berwarna-warni. Tekniknya sepeprti sablon. Selain itu, ada juga gambar-gambar koboi, orang-orang berambut gondrong, dan lain-lain. Warna bahan kaos oblong pun sudah semarak, yaitu merah, hitam, biru kuning. Dan, tren kaos oblong rupa-rupanya direkam pula oleh Kartunis GM Sudarta melalui tokoh Om Pasikom dan kemenakannya dengan tajuk “Generasi Kaos Oblong” (Harian Kompas, 14 Januari 1978).

Dalam sejarahnya, T-shirt bukan bagian dari dunia fashion (atau mari katakanlah, dunia berpakaian secara baik). Pada awalnya, T-shirt hadir sebagai baju “daleman” para anggota U.S. Navy untuk melindungi bulu dada mereka (hahaha). Ada beberapa pabrikan yang kemudian mulai membuatnya sebagai produk yang lebih massal, tapi itu pun belum menjadi sebuah pakaian pantas pakai sehari-hari (Scott Fresner, 1995).
Adalah seorang Clark Gable yang kemudian dianggap sebagai penyebar virus T-shirt ini. Juga ada nama-nama seperti Marlon Brando, James Dean, dan sang “Raja” Elvis Presley diawal-awal karirnya.
Perlahan namun pasti, T-shirt mulai menjadi bagian dari busana keseharian yang tidak hanya dipakai untuk daleman, tetapi juga menjadi pakaian luaran. Pada pertengahan tahun 50an, T-shirt sudah mulai menjadi bagian bagian dari dunia fashion. Namun baru pada tahun 60an ketika kaum hippies mulai merajai dunia, T-shirt benar-benar menjadi state of fashion itu sendiri. Sebagai sebuah simbol (lagi-lagi) anti kemapanan, para hippies ini menggunakan T-shirt sebagai salahsatu simbolnya.
Semenjak saat itulah revolusi T-shirt terjadi secara total. Para penggiat bisnis menyadari bahwa T-shirt dapat menjadi medium promosi yang amat efektif serta efesien. Segala persyaratan sebagai medium promosi yang baik ada di T-shirt. Murah, mobile, fungsional, dapat dijadikan suvenir, dan seterusnya.
Disaat yang bersamaan, kelompok-kelompok tertentu macam hippies, komunitas punk, atau organisasi politik, juga menyadari bahwa T-shirt dapat menjadi medium propaganda yang sempurna selain medium yang telah ada. Statement apapun dapat tercetak diatasnya, tahan lama, dan penyebarannya mampu melewati batas-batas yang tidak dapat dicapai oleh medium lain, seperti poster misalnya.
Dengan segala kesempurnaannya, T-shirt tidak lagi menjadi sederhana. Jelas, secara fungsional benda tersebut masih berlaku sebagai sebuah sandang. Namun dibalik itu semua, T-shirt memiliki value yang melebihi dari fungsi dasarnya.
Sebagai media promosi, medium ini benar-benar dimanfaatkan secara maksimal hingga pada titik yang tak terbayangkan sebelumnya. Kini, konsumen dapat dengan bangga membeli T-shirt dengan logo sebuah produk tertera diatasnya kemudian dipakainya. Artinya, dia secara langsung membeli untuk mempromosikan produk yang bersangkutan secara sukarela (tentu saja orang tersebut tidak akan mendapatkan bayaran sepeser pun untuk itu).
Selain menjadi sebuah citraan, T-shirt jelas menjadi pengantar dari citra / image yang ampuh. Ketika diproduksi secara massal, T-shirt mampu melakukan konstruksi atas citra tertentu.
Siapa yang tidak mengenal Che Guevara? Generasi muda sekarang pun banyak yang mengenalnya, bahkan para Slemania alias fans club dari klub sepakbola kota Sleman menggunakan ikon Che sebagai ikon mereka. Terpampang jelas di T-shirt fans club wajah gagah Che Guevara.
Bisa jadi, bagi generasi muda sekarang lebih mengenal Che Guevara yang ada di T-shirt daripada dari sumber lain seperti film atau buku. Atau setidaknya mereka mengenal sekilas sebagai sebab akibat mereka memiliki atau tertarik untuk memiliki T-shirt Che.
Perang visual melalui medium T-shirt ini menjadi sesuatu yang menarik. Saat ini mungkin kita sudah tak lagi heran ketika menemukan logo MTV tertera pada sebuah T-shirt yang diletakkan diemperan bersama T-shirt berlogo semacam Levis, Coca cola, Slank, atau bahkan “Si Wajah Pribumi” Iwan Fals. Siapa sangka, si Benyamin pun sekarang ikut serta dalam perang ikon T-shirt dikalangan muda saat ini.
Kekuatan T-shirt sebagai medium pengantar pesan visual hampir setara dengan kekuatan televisi. Kemudian, yang menjadikannya menarik untuk terus ditilik adalah; “siapa menguasai siapa”. Ketika T-shirt bisa menjadi sebuah ikon identitas atau bahkan identitas itu sendiri, maka bisa jadi si pemakai sesungguhnya telah terjajah oleh apa yang ia pakai. Layaknya ketika realitas Tv telah merangsek kedalam realitas keseharian.

1 komentar:

neverdies mengatakan...

hahahahahah

Posting Komentar